Laman

Selasa, 03 Januari 2012

Islam dan Kebahagiaan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mutlak dibutuhkan manusia dalam hidup ini adalah kebahagiaan. Tanpa kebahagiaan, manusia ibarat hati yang beku yang tidak bisa merasa atau otak di dalam tubuh yang tanpa nyawa. Namun menghadirkan rasa itu tidak mudah. Terkadang seorang manusia harus bertualang di dunia ini untuk meraihnya. Kebahagiaan hidup merupakan sesuatu yang pasti dan menjadi cita-cita bagi semua orang dalam hidupnya. Baik kebahagiaan di dalam berhasil menjalankan tugas dan kewajiban yang baik serta benar maupun keberhasilan dalam menghindari penderitaan. Seperti diungkapkan golongan as-Sa’adah sebagai berikut :
“Mereka mengartikan kebahagiaan adalah keenakan dan terhindar dari penderitaan. Kelezatan bagi mereka adalah ukuran dari amal perbuatan. Ini dianggap baik diukur dari kadar kelezatan yang ada padanya dan dianggap buruk dari kadar penderitaan yang ada padanya”.
Ibnu khaldun berpendapat bahwa kebahagiaan itu tunduk dan patuh pada garis-garis yang ditentukan Allah dan perikemanusiaan. Bahagia dan tidaknya seseorang bisa berangkat dari mampu dan tidaknya orang tersebut memenuhi kebutuhan keinginannya (dalam bentuk positif), berangkat dari kata hatinya yang tulus murni. Bila pemenuhannya bersifat negatif yang sebenarnya bukan kebahagiaan, maka dibalik pemenuhan itu masih terdapat keganjilan yang tidak bisa diterima oleh kata hatinya bahkan hanya bersifat sementara. Karena itu orang yang bahagia ialah orang yang bisa menerima kenyataan hidupnya, bisa menerima segala yang ada pada dirinya. Akan tetapi tetap percaya bahwa di balik kepahitan pasti ada kesejahteraan yang lebih lama dari pahitnya rasa.
B. Rumusan Masalah
1. Apa makna kebahagiaan itu?
2. Apa saja faktor pendukung (sumber) tercapainya bahagia?
3. Bagaimanakah konsep kebahagiaan dalam Islam?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Makna Kebahagiaan
Sejak zaman dahulu hingga sekarang atau bahkan sampai zaman nanti setiap orang selalu berkata “Saya ingin hidup bahagia”. Semua manusia mendambakannya dalam kehidupan. Kalau bisa kebahagiaan dirasakan pada waktu siang maupun malam, dalam rumah maupun kantor. Dalam kesendirian maupun ditengah keramaian. Di darat maupun dilaut. Bahkan di dunia maupun akhirat.
Kondisi senantiasa bahagia dalam situasi apa pun, inilah. yang senantiasa dikejar oleh manusia. Hidup tenang, tenteram, damai, dan sejahtera. Bahagia memang relatif, hingga wajarlah kalau orang berbeda mendefinisikan dan memberikan batasan tentang bahagia. Sebagian orang mengejar kebahagiaan berlimpah itu terdapat kebahagaiaan. Ada yang mengejar kebahagiaan pada tahta, pada kekuasaan. Beragam cara dia lakukan untuk merebut kekuasaan. Sebab menurutnya kekuasaan identik dengan kebahagiaan dan kenikmatan dalam kehidupan. Dengan kekuasaan sesrorang dapat berbuat banyak. Orang sakit menyangka, bahagia terletak pada kesehatan. Orang miskin menyangka, bahagia terletak pada harta kekayaan. Rakyat jelata menyangka kebahagiaan terletak pada kekuasaan. Dan sangkaan-sangkaan lain.
Kebahagiaan dan kesejahteraan hanya mudah untuk diucapkan dan sulit untuk dirasakan dan diakui keberadaannya oleh seseorang. Kebahagiaan adalah secarik rasa yang aneh dan misteri serta mahal yang seseorang tidak mudah untuk mengatakan bahwa dirinya adalah bahagia padahal orang lain mengatakan bahwa dia adalah orang yang bahagia. Bahagia hanya mudah diucapkan, dirasakan, dan dibayangkan oleh orang-orang yang dirinya belum berada pada tempat penyebab kebahagiaan itu sendiri. Contoh : Ahmad memandang Amir sebagai orang yang kaya, Ahmad mengatakan bahwa Amir orang yang bahagia, padahal Amir sendiri tidak merasa bahagia dengan kekayaannya itu karena istrinya telah kabur dan lain-lain.
Bahagia dapat dikatakan sebagai keadaan dimana seseorang mampu “memotivasi diri sendiri”, menghargai sekecil apa pun kebaikan untuk dijaga, dirawat, dilanggengkan jadi amal unggulan. Bersihkan diri dari sekecil apa pun dosa ringan atau berat agar tidak jadi beban. Bahagia memang ibarat bianglala, merupakan mata rantai ketidakpuasan yang berkepanjangan yang selalu hinggap pada diri manusia. Untuk berkata bahwa seseorang bahagia atau sesuatu dapat membahagiakan hidup, kita harus tahu lebih dulu siapa yang berbicara tentang masalah kebahagiaan itu sendiri. “Kebahagiaan adalah apabila seseorang telah melakukan sesuai dengan kata hatinya yang tulus dan ikhlas, atau karena dorongan dari luar dirinya yang dapat diterima dan disukainya serta tidak bertentangan dengan hukum adat, tata susila, negara dan hukum agama yang diyakininya. Karena apabila tidak demikian sengsaralah yang didapatkan yang selama ini diharapkan”. Rasulullah SAW bersabda terkait dengan kebahagiaan, yang artinya : “Jika petang dan pagi manusia telah mendapatkan aman sentosa dari gangguan manusia, itulah dia orang yang bahagia”
Dalam hidup ini, tidak semua perjalanan manusia mencari kebahagiaan menemukan jalan dan cara-cara yang benar untuk meraihnya. Untuk mendapatkan dan merasakan kebahagiaan tidak bisa ditenpuh dengan satu jalan tetapi begitu banyak jalan. Jalan-jalan tersebut tersedia begitu lapang dan luas untuk dilalui manusia. Besar kecilnya jalan yang ditempuh bergantung kita. Jika upaya kita dengan sungguh-sungguh menelusuri jalan-jalan yang sesuai dengan tuntutan dan tuntunan agama, betapapun banyak jalan, tidak membuat kita menjadi bingung dan resah dalam perjalanan karena semakin banyak jalan yang kita raih, semakin besar pula potensi kebahagiaan yang kita rasakan.
B. Sumber-sumber Kebahagiaan
Beragam sumber kebahagiaan dapat diperoleh. Ia dapat diraih dan dirasakan kapan dan dimana saja,karena ia tidak mengenal ruang dan waktu. Secara mutlak ia bersumber dari Allah. Allah-lah yang memancarkan cahaya kebahagiaan itu keseluruh penjuru alam. Oleh karena itu, ia tidak hanya dirasakan oleh manusia saja tetapi oleh seluruh makhluk Allah di muka bumi. Hal ini diisyatratkan melalui Firman-Nya.
“ Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi...” (an-Nur: 35)
Setiap makhluk hidup berpotensi untuk mendapatkan cahaya dari Allah. Jika manusia berinteraksi dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan bahkan benda yang tidak bergerak termasuk tata kosmos ini, boleh jadi akan menghasilkan keteraturan-keteraturan yang pada gilirannya akan menghadirkan kebahagiaan. Sumber kebahagiaan bagi manusia, melalui pendapat yang dikemukakan oleh Imam Al-ghazali, antara lain :
I. Akal Budi
a. Sempurna Akal
Kesempurnaan akal harus dengan ilmu. Ilmu yang membuat manusia dapat memahami sesuatu. Ilmu yang memberi kemudahan teknis bagi manusia untuk mengekspresikan nilai-nilai keimanannya. Bahkan, sebuah ibadah kalau tidak diiringi dengan ilmu, ibadah tersebut diragukan kualitasnya. Orang yang memiliki ilmu, berpotensi besar untuk bahagia karena dengan ilmunya dirinya memiliki kemungkinan paling besar untuk menggenggam dunia dan segala isinya.
Orang yang tidak berkesempatan menuntut ilmu berarti pengetahuan tidak ada dalam dirinya orang tersebut ibarat berjalan di tengah malam gelap gulita, yang di depannya penuh dengan duri dan batu-batu terjal, lancarkah perjalanan mereka? Senang dan bahagiakah hatinya?
b. Iffah (Menjaga Kehormatan Diri)
Orang yang berupaya terus-menerus dengan sungguh-sungguh untuk memelihara kesucian hati sehingga akan tetap tegar dalam menghadapi ujian dan kesulitan-kesulitan hidup. Ia mencoba meraihnya dengan mengawalinya bersikap wara, dan tawadhu. Dari situ, terbuka tabir-tabir yang menuntun dirinya ke arah sikap dan perbuatan yang berkualitas. Perbuatan yang diridhai oleh Allah SWT. Kebahagiaan hati akan terasa kalau hidup kita diridhai olehNya.
c. Syaja’ah (Berani)
Keberanian dalam menegakkan kebaikan dan menyingkirkan keburukan dengan berbagai resiko dan konsekuensinya. Selain itu, berani untuk mengakui kesalahan diri sendiri dan berani mengakui kelebihan orang lain. Berani untuk tidak mengungkit-ungkit aib dan cacat orang lain dan berani memaafkan orang yang pernah berbuat salah kepada diri kita.

d. Al-‘Adl (Keadilan)
Keadilan dalam meletakkan sesuatu pada tempat dan porsinya. Keserasian dan keteraturan dalam memperlakukan sesuatu dapat menghadirkan kebahagiaan. Pemimpin yang adil hatinya akan tenang. Dirinya disukai oleh banyak orang. Namun sebaliknya, jika ia zhalim, yang tidak bahagia bukan orang lain saja, dirinya pn akan merasakan penderitaan, paling tidak penderitaan batin.
II. Tubuh (Jasmani)
Manusia akan merasakan kebahagiaan jika tubuhnya :
a. Sehat yakni sehat secara fisik dan psikis
b. Kuat yakni memiliki kekuatan fisik dan ketahanan mental
c. Fisik yang gagah dan cantik
d. Mendapatkan anugerah umur panjang
Sungguh sangat beruntung orang yang sudah diberikan anugerah tubuh yang sempurna lalu disyukurinya dengan mendekatkan diri kepada Allah. Kesempurnaan tubuh yang dilengkapi dengan kekuatan yang memancarkan aura kecantikan dan kegagahan adalah sebuah nikmat yang tiada tara.
III. Luar Badan
a. Kekayaan (Harta Benda)
Kekayaan boleh menjadi sumber kebahagiaan kalau ia digunakan sesuai dengan kehendak Yang Memberi Kekayaan. Namun dapat mendatangkan penderitaan hidup, jika ia diarahkan untuk menentang kemauan Allah.
b. Keluarga
Silaturrahim yang hidup dan hubungan yang tetap terjalin akan mendatangkan kebahagiaan tersendiri. Keharmonisan hubungan akan mengurangi beban hidup baik materi maupun kejiwaan dan memungkinkan terjadi perpanjangan umur.

c. Popularitas
Menjadi orang yang terpandang dan terhormat dapat menjadi sumber kebahagiaan selama tidak tersentuh riya dan sun’ah. Yang diharapkan dari kepopuleran dirinya memancarkan sikap dan perilaku hidup yang baik untuk diteladani oleh orang lain. Dengan banyaknya orang meneladani, dengan sendirinya akan mendatangkan kebahagiaan tersendiri.
IV. Taufik dan Bimbingan Allah
a. Hidayah (Petunjuk Allah)
Terdiri dari 3 macam :
1) Memahami jalan yang baik dan buruk
2) Bertambahnya ilmu pengetahuan dan pengalaman
3) Hidayah yang merupakan cahaya yang khusus dipancarkan kepada para nabi dan rasul kesayanganNya
b. Irsyad (Bimbingan Allah)
Merupakan pertolongan Allah terhadap manusia, sehingga yang bersangkutan dapat selamat dari perilaku hidup yang negatif dan terpenuhi kemauannya oleh Allah untuk terus berada di jalan yang lurus.
c. Tasdid (Dukungan Allah)
Mantapnya kemauan untuk terus berusaha dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Antara tasdid dan irsyad mempunyai kemiripan. Perbedaannya terletak pada metodologinya. Jika irsyad memerlukan suatu peringatan dan pengetahuan sedangkan tasdid memerlukan pertolongan gerak badan atau amal prestatif.
d. Ta’yid (Bantuan Allah)
Sebuah kekuatan yang lahir dari tajamnya mata batin dan kerasnya kemauan. Dengan kata lain, Allah senantiasa selalu membantu hambaNya ketika ia mengalami kebingungan dan keresahan jiwa.
Adanya keempat faktor di atas, membuat manusia dapat terbimbing dan terpelihara. Dia akan selalu berhati-hati terutama menghadapi ujian atau musibah yng menimpa. Jika demikian, keempat faktor di atas dapat dijadikan sebagai sumber kebahagiaan yang tiada tara.
V. Bahagia Akhirat
Kebahagiaan akhirat merupakan titik kebahagiaan terakhir yakni ketika kehidupan manusia di dunia berganti dengan kehidupan akhirat. Dalam menjalankan kejidupan di sana yang menjadi parameternya bukan harta kekayaan, pangkat dan jabatan yang tinggi, ataupun ketenaran tapi keseluruhan amal yang mendatangkan keridhaan Allah SWT. Amal sekecil apapun atau seberat apapun akan dihargai secara setimpal. Sebagaimana firman Allah dalam QS.Al-Zalzalah:7-8. Jika amal itu memenuhi syarat, ia akan mengantar yang bersangkutan untuk meraih kehidupan yang amat sangat menyenangkan yaitu surga.
C. Konsep kebahagiaan dalam Islam
Islam menyatakan bahwa “Kesejahteraan’ dan “kebahagiaan” itu bukan merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri hayawani sifat basyari dan bukan pula dia suatu keadaan hayali insan yang hanva dapat dinikmati dalam alam fikiran belaka. Kebahagiaan adalah kondisi hati yang dipenuhi dengan keyakinan (iman) dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Bilal bin Rabah merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara dan dicambuk setiap hari, karena menolak diangkat menjadi hakim negara. Para sahabat nabi, rela meninggalkan kampung halamannya demi mempertahankan iman. Mereka bahagia. Hidup dengan keyakinan dan menjalankan keyakinan.
Dalam Islam, pusat segala kebahagiaan adalah saat seseorang bertemu dengan Sang Khaliq. Tentu bukan dengan makna bahwa kita harus mati terlebih dulu. Memang, ujung dari perjalanan kehidupan akan seperti itu. Tetapi bukankah kebahagiaan itu kita dambakan juga di dunia? Berapa banyak jalan yang harus ditempuh dan dibutuhkan untuk menuju kepada Allah? Sebanyak yang dituntun di dalam dua pedoman dasar hidup kita yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Jalan-jalan itu tersimpul di dalam sebuah isilah yang cukup populer, singkat tetapi mencakup segala-galanya yaitu takwa sebagai upaya maksimal melaksanakan perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Ini adalah prestasi moral yang paling tinggi. Oleh karena itu, Allah memberikan apresiasi yang sangat tinggi kepada mereka yang secara konsisten dan konsekuen untuk menjakankannya. Allah menjelaskan, “Sesungguhnya orang yang palinh mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang bertakwa di antara kamu” (QS.Al-Hujurat:13).
Ketenangan dan kebahagiaan seperti yang sudah diuraikan di atas sumbernya adalah Allah. Oleh sebab itu kita harus memiliki cara yang tepat untuk mewujudkannya. Untuk “dekat” kepada Allah tidak dengan menggunakan satu jalan, cara untuk memperoleh kebahagiaan pun memiliki banyak jalan. Contoh : melalui jalan dalam bidang sosial dan politik, seperti berlaku adil, berbuat baik kepada sesama, menyingkirkan duri di jalan, menebar senyuman kepada saudara, dan lain-lain. Demikian juga menempuhnya melalui jalan ritual ubudiah seperti menegakkan shalat, berpuasa, membayar zakat, dan sebagainya. Itu semua merupakan jalan untuk menuju Allah, yang berefek secara psikologis terhadap ketenangan dan kebahagiaan yang dirasakan oleh pengamalnya.
Jika kita mengerjakan deretan perintah Allah tersebut, Allah akan menurunkan karunia kebahagiaan yang tiada tara. Wadah kalbu kita semakin luas dan siap menampung cahaya kebahagiaan yang dipancarkan kepada kita. Dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram, jiwa menjadi bahagia, batin jauh dari gundah gulana. Apabila kita senntiasa mengingat Allah, Allah akan selalu bersama kita di kala suka dan duka, saat senang dan sedih kita, bahkan saat bahagia dan derita kita. Kalau itu dilaksanakan dengan istiqamah rasa bahagia itu bukan hanya hadir pada saat kita bahagia saja, tetapi kebahagiaan itu muncul pada saat kita menderita. Kita boleh jadi mengatakan penderitaan yang kita rasakan sekarang belum seberapa jika dibandingkan dengan samudra kebahagiaan yang sebelumnya kita rasakan.
Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah:153 Allah memberikan solusi kepada kita yakni dengan memberikan dua jalan untuk menuju kepadaNya, untuk menghasilkan kebahagiaan pada diri kita. Kedua jalan itu adalah sabar dan shalat. Gambaran di pengujung ayat ini adalah seseorang yang ingin mengatasi penyebab kesedihan atau kesulitannya, ingin behasil memperjuangkan kebenaran dan keadilan, ia harus menyertakan Allah dalam setiap langkahnya. Ia harus bersama Allah dalam setiap kesulitannya dan dalam perjuangannya. Ketika itu, Allah pasti membantunya karena Dia-pun telah bersama hamba-Nya. Jika seseorang ingin terhindar dari kesulitan dan penderitaan berkat pertolongan Allah, kebahagiaan akan terasa dalam oleh hati. Sama bahagianya seperti kebahagiaan yang diperoleh setelah kita melaksanakan shalat. Shalat dan sabar harus diamalkan sebelum aneka ujian datang. Temui Allah dalam semua bentuk ujian, yang baik maupun buruk. Rasakan kebahagiaan, baik ketika bahagia atau ketika menderita dan mengalami kesulitan hidup.
Harapan untuk memperoleh kebahagiaan seperti tersirat dalam do’a, “Rabbanaa aatinaa fi ad-duniaa hasanah wa fi al aakhirati hasanah waqinaa ‘adzaa bannaar” (Ya Allah curahkanlah kebaikan (kebahagiaan) untuk kami di dunia dan kebahagiaan di akhirat dan jauhkanlah kami dari siksa neraka karena hamba tidak kuat menghadapinya).
Kebaikan-kebaikan disini merupakan amal-amal yang positif yang dapat membawa manusia kepada ketenangan batin. Dalam Al-Qur’an, ketika Allah menyebutkan aamanuu selalu dikaitkan dengan kata ‘amilus shaalihaat. Kata aamanuu berorientasi kepada akhirat sedangkan ‘amilus shaalihaat berorientasi dunia. Kata aamanuu mengarah kepada kebahagiaan akhirat sedangkan kata ‘amilus shaalihaat menunjuk pada kesejahteraan dunia yang diraih dengan kerja keras dan upaya yang sungguh-sungguh.
Sebenarnya kebahagiaan dalam pandangan Islam bertumpu pada upaya untuk tidak kecewa dengan apapun yang diterima dari Allah. Sedikit atau banyak tetap disyukuri dan diterima sebagai yang terbaik menurut plihan Allah atau dengan kata lain bersifat qana’ah. Qana’ah terdiri dari lima aspae terkait langsung dengan kehidupan manusia, antara lain :
• Menerima dengan rela apa yang diberikan oleh Allah
• Memohon kepada Allah tambahan yang pantas dan tetap berusaha
• Menerima dengan sabar akan ketentuan Allah
• Bertawakkal kepadaNya
• Tidak tertarik dengan tipu daya kesenangan dunia
Kelima aspek di atas praktis mengarahkan kita kepada kebahagiaan. Degnan sikap Qana’ah. Seseorang tidak akan silau dengan prestasi yang diraih oleh orang lain tetapi sibuk mengurus dan mengelola apa yang sudah diterimanya dan berusaha mensyukurinya. Demikian pentingnya sikap ini sehingga Rasulullah SAW menganggapnya sebagai “harta” yang tidak akan hilang. “Qana’ah adalah harta yang tidak akan hilang dan simpanan yang tidak akan lenyap”.
Sesuatu yang dapat melanggar sunatullah adalah jika seseorang meniginkan kebahagiaan tetapi tidak mengeluarkan keringat, bermalas-malasan, dan tidur sepanjang hari. Ketenangan tidak akan diraih dari sana, tetapi jiwa yang diisi dengan iman dan takwa dan menyikapi kehidupan ini secara tepat. Berkaitan dengan ini, Hita’iah, seorang penyair mendendangkan syairnya,
“Bukanlah kebahagiaan itu pada mengumpulkan harta, tetapi pada takwa kepada Allah itulah dia bahagia. Takwa kepada Allah itulah bekal yang sebaik-baiknya disimpan. Pada sisi Allah sajalah kebahagiaan bagi orang yang bertakwa”.
Demikianlah makna kebahagiaan bagi orang yang beriman. Mampu menilai dan menghiasi kehidupan ini sesuai dengan nilai dan porsi yang semestinya. Imam ghazali pernah mengatakan “Kebahagian dan kelezatan sejati adalah bila seseorang dapat mengingat Allah.”


BAB III
PENUTUP

Kebahagiaan adalah kebutuhan hakiki setiap jiwa. Namun, tidak selamanya jalan yang ditempuh untuk menggapai rasa itu lurus dan mulus. Terkadang kita menemukan jalan yang bergelombang penuh belokan, tidak rata, dan berkerikil.
Akan tetapi, yakinlah bahwa bahagia itu sesuatu yang niscaya akan dirasa manusia, sebagaimana rasa sedih. Setiap diri manusia pasti pernah merasakan kedua rasa itu, bahkan manusia sekaliber nabi dan rasul. Tinggal bagaimana usaha kita menggapai dan menguasai perasaan itu. “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS.Al-Qashash:77)


DAFTAR PUSTAKA
Abu Izzudin,Sholihin. 2010. Happy Ending Full Barokah. Yogyakarta : Pro U Media.
Al-Mansor,Anshory. 1997. Jalan Kebahagiaan Yang Diridhai. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Sanusi,Anwar. 2006. Jalan Kebahagiaan. Jakarta : Gema Insani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar